Jumat, 11 Desember 2015

Pencairan Batubara



I.                   Pengertian Batubara
Potensi sumber daya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera. Badan Geologi Nasional memperkirakan Indonesia masih memiliki 120,53 miliar ton sumber daya batubara dan 31,35 miliar ton cadangan batu bara. Kualitas suatu batubara dapat ditentukan dengan cara analisa parameter tertentu baik secara fisik maupun secara kimia. Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara di laboratorium yang diantaranya berupa analisis proksimat, analisis ultimat dan nilai kalor.
Batubara menjadi salah satu sumber material utama yang digunakan dalam pembuatan bahan bakar. Batubara merupakan sumber daya alam yang berfungsi bukan hanya sebagai bahan bakar mesin uap, tetapi juga mampu digunakan sebagai pembangkit listrik dalam bidang industri (Brown and Spiegel 2017)
Ardian A. Menjelaskan bahwa secara umum batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan purba yang mengalami pengendapan pada kondisi tertentu selama jutaan tahun. Pada kondisi tertentu disini yaitu pada kondisi dimana tumbuhan purba tersebut terendapkan pada area tanpa oksigen, sehingga bakteri aerob yang akan membusukkan tumbuhan tersebut tidak mampu berkembang dengan baik. Dengan pengendapan yang lama dengan bantuan tekanan dan suhu yang tinggi maka setelah jutaan tahun akan mengalami proses pembatubaraan (coalification), terbentuklah gambut, lignit, sub-bituminus, bituminous, kemudian antrasit secara berurutan berdasarkan kualitas batubara tersebut. Sebenarnya berdasarkan teori tempat terbentuknya, terdapat 2 teori yang dikenal, teori insitu dan teori drift. Pada teori insitu batubara terbentuk ditempat tumbuhan purba tersebut ada, sedangkan teori drift.
               Material bahan bakar yang penggunaannya mencapai 40% khususnya dalam penghasil listrik adalah batubara (Andrianopoulos, et.al, 2015). Batubara menjadi salah satu sumber material utama yang digunakan dalam pembuatan bahan bakar. Batubara merupakan sumber daya alam yang berfungsi bukan hanya sebagai bahan bakar mesin uap, tetapi juga mampu digunakan sebagai pembangkit listrik dalam bidang industri (Brown and Spiegel 2017). Saat ini, keberadaan batubara didunia semakin menipis akibat penambangan-penambangan yang terus dilakukan. Pembentukan batubara secara sempurna harus ditempuh dalam kurun waktu wang sangat lama.
               Batubara berbentuk bahan bakar fosil padat yang pembentukannya diperoleh dari hasil peatifikasi, diagenesis dan metamorfosis tanaman. Tahap  peatifikasi terjadi pada daerah perairan atau rawa-rawa sehingga kadar air pada gambut menjadi meningkat. Selanjutnya, pada tahap diagenetik mulai terjadi pemadatan gambut dan mulai berkurangnya kadar air (dehidrasi) serta terbentuknya gas metana. Kedalaman dari tumpukan gambut sangat mempengaruhi metamorfosis dari batubara. Kedudukan dan letak berbanding lurus dengan suhu serta tekanan yang mengakibatkan batubara mengalami perubahan fisik dan kimia. Tahap inilah yang disebut dengan metamorfosis (Song et al. 2017)
          
 Indonesia merupakan salah satu Negara pengekspor batubara besar didunia, Sumatera Selatan khususnya merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia sekitar 39.64%


            Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.
 
Batubara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa di antaranya tegolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi di mana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan batu bara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batu bara Miosen. Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan.


II.                Pencairan Batubara
Pencairan batubara (Coal Liqeufaction) adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dan menghasilkan bahan bakar cair sintetis. Batubara yang berupa padatan diubah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi. Atau disebut juga dengan Likuifaksi Batubara.
Banyak faktor yang mempengaruhi proses pencairan batubara baik yang berhubungan dengan karakteristik batubara itu sendiri maupun yang berhubungan dengan kondisi operasional pencairan yang diterapkan. Karakteristik batubara seperti kandungan maseral batubara memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada proses pencairan. Maseral Vitrinit yang terdapat dalam batubara peringkat rendah dapat dengan mudah terhidrogenasi dan tercairkan, sedangkan pada batubara peringkat tinggi proses pencairan memerlukan energi yang cukup besar.
Menurut Tsai (1982) Maseral eksinit (liptinit) lebih cocok untuk proses pencairan, sebab maseral eksinit (liptinit) yang terdapat dalam batubara peringkat rendah mempunyai kandungan hindrogen yang tinggi, Sedangkan inertrinit yang terdapat dalam semua peringkat batubara tidak cocok untuk proses pencairan batubara dikarenakan kandungan hidrogennya yang rendah.
Proses pencairan batubara dapat dilakukan dengan dua metode yaitu :
1.      Metode Langsung
2.      Metode Tidak Langsung.

2.1.   Metode Lansung
Pada proses Metode langsung Batubara cair diproduksi dengan melarutkan dalam suatu pelarut organik lalu dilanjutkan dengan proses hidrogenasi pada suhu dan tekanan tinggi. Proses pencairan batubara sercara langsung dapat dilakukan melalui pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
 
Proses pencairan batubara secara langsung dapat dilakukan melalui pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.

2.1.1   Pirolisis
Teknologi pengolahan batubara yang telah dikembangkan dan dimanfaatkan secara komersial diantaranya adalah pembakaran, pirolisis, gasifikasi, dan likuifaksi. Pirolisis batubara merupakan salah satu proses penting pada teknologi konversi batubara. Pirolisis batubara pada dasarnya adalah proses pemanasan batubara dengan suhu meningkat dengan tanpa adanya atau sedikit udara atau reagen lainnya yang tidak memungkinkan terjadinya reaksi gasifikasi. Selama proses pirolisis terjadi, batubara akan terdekomposisi dan menghasilkan condensable gases yang disebut dengan tar, non-condensable gases yang disebut dengan gas dan padatan mikrokristalin yang disebut dengan char. Produk hasil pirolisis batubara tidak hanya menghasilkan energi yang bersih tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kimia.
Produk pirolisis batubara yang berpotensi besar sebagai bahan baku industri kimia adalah char dan tar. Char adalah produk hasil pirolisis batubara yang berbentuk padat. Batubara bituminus merupakan jenis batubara dengan kualitas baik yang tergolong ke dalam jenis coking coal/metallurgical coal yang apabila dipirolisis akan menghasilkan char yang memiliki struktur kohern yang sering disebut dengan kokas metalurgi. Kokas metalurgi digunakan sebagai bahan bakar dan agen pereduksi dalam produksi baja, besi, fosfor, kalsium karbida, elektroda karbon dan beberapa industri lainnya. Selanjutnya apabila kokas ini digasifikasi, akan menghasilkan syngas yang merupakan bahan baku industri petrokimia.
Tar adalah produk hasil pirolisis batubara yang berbentuk cair. Tar dapat digunakan sebagai bahan baku industri kimia seperti karet sintesis, polimer, obatobatan, pelarut, grafit dan coating. Tar hasil pirolisis batubara juga merupakan sumber senyawa benzen dan turunannya yang sangat penting seperti naftalen yang merupakan bahan dasar industri polimer seperti plastik.
Sejumlah proses baru terus dikembangkan untuk menghasilkan tidak hanya hasil char dan tar yang optimum, tetapi juga gas yang dihasilkan. Kokas metalurgi pada dasarnya adalah char hasil pirolisis batubara jenis bituminus pada suhu rendah (773-973 K) dan waktu tinggal fase uap lama. Proses pembuatan kokas dengan metode pirolisis seperti ini disebut dengan karbonisasi. Pirolisis batubara bituminus akan menghasilkan hasil char dan tar yang tinggi dengan hasil gas yang rendah.
Meskipun demikian, telah dilakukan beberapa modifikasi pada proses karbonisasi dengan tujuan tertentu. Salah satunya dengan menambahkan katalisator Ca(OH)2 pada pirolisis batubara bituminus Australian Newlands untuk menghasilkan char yang selanjutnya akan dijadikan bahan baku pada proses gasifikasi. Penambahan katalisator pada proses pirolisis akan meningkatkan reaktivitas char yang akan sangat berpengaruh pada efisiensi gasifier. Pada Gasifier jenis fluidized-bed, reaktivitas char yang tinggi berarti konversi karbon sebelum meninggalkan bed tinggi, sirkulasi yang diperlukan untuk mencapai konversi tinggi menjadi lebih sedikit, dan konversi tinggi berarti volume gasifier yang diperlukan lebih kecil. Penambahan katalisator Ca(OH)2 pada proses pirolisis juga diharapkan akan menurunkan kandungan sulfur pada produk hasil pirolisis.
Proses pirolisis juga dapat dilakukan dengan penambahan gas, baik gas inert atau gas pereaksi dengan tujuan tertentu. Penambahan gas inert seperti N2 pada proses pirolisis akan meningkatkan porositas pada char sehingga char yang dihasilkan lebih reaktif. Pirolisis dengan penambahan gas pereaksi seperti H2 akan meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi sekunder pada char dan menghasilkan gas dengan komposisi utama metana dan etana.
Dalam pirolisis juga dikenal model Three Lumps, menyatakan bahwa suatu bahan padat akan terurai menjadi 3 produk yaitu padat, cair dan gas berdasarkan reaksi paralel orde satu. Model Three Lumps diantaranya diajukan oleh Thurner dan Mann (1981) juga Shen (2007). Aplikasi dari model-model tersebut memungkinkan untuk mendapatkan nilai parameter-parameter kinetika pirolisis.

2.1.2  Ekstraksi Pelarut
            Mekanisme proses ini adalah batubara dilarutkan dalam pelarut donor hydrogen yang dapat memindahkan atom hydrogen kedalam batubara dengan menggunakan suhu dan tekanan yang tinggi. Proses ini akan menghasilkan gas, cairan, batubara tak terkonversi serta abu.

2.1.3   Hidrogenasi Khatalitik
Merupakan hidrogenasi batubara dalam larutan donor hydrogen dengan bantuan katalis oksida besi pada tekanan antara 35 atm –275 atm dan suhu 3750C – 4500C. Hidrogenasi adalah proses reaksi batubara dengan gas hydrogen bertekanan tinggi. Reaksi ini diatur sedemikian rupa (kondisi reaksi, katalisator dan kriteria bahan baku) agar dihasilkan senyawa hidrokarbon sesuai yang diinginkan, dengan spesifikasi mendekati minyak mentah. Sejalan perkembangannya, hidrogenasi batubara menjadi proses alternativ untuk mengolah batubara menjadi bahan bakar cair pengganti produk minyak bumi, proses ini dikenal dengan nama Bergius proses, disebut juga proses pencairan batubara (coal liquefaction).
Faktor – Faktor yang mempengaruhi
·         Peringkat Batubara
Proses pencairan batubara pada peringkat rendah akan menghasilkan perolehan minyak yang lebih tinggi dari pada batubara peringkat tinggi. Batubara peringkat rendah memiliki laju kecepatan reaksi yang lebih besar dari batubara peringkat tinggi
·         Temperatur operasi
Tingkat kelarutan cenderung semakin    meningkat dengan kenaikan temperatur
Temperatur yang digunakan antara 3500C - 5000C. Temperatur diatas 5000C cenderung membentuk kokas dan menyebabkan aglomerasi partikel, meningkatkan kosumsi hydrogen dan meningkatkan produksi gas.
Temperatur dibawah 3000C partikel batubara belum sempurna terkonversi
·         Tekanan Operasi
·         Waktu Operasi
·         Katalis

2.2  Metode Tak Lansung
Pada proses tidak langsung batubara difragmentasi menjadi CO, CO2, H2, dan CH4 yang kemudian direkombinasikan menghasilkan produk cair, prosesnya melalui gasifikasi dan kondensasi.


2.2.1         Gasifikasi (coal gasification)
Proses gasifikasi batubara adalah proses yang mengubah batubara dari bahan bakar padat menjadi bahan bakar gas. Dengan mengubah batubara menjadi gas, maka material yang tidak diinginkan yang terkandung dalam batubara seperti senyawa sulfur dan abu, dapat dihilangkan dari gas dengan menggunakan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan gas bersih dan dapat dialirkan sebagai sumber energi.
Sebagaimana diketahui, saat bahan bakar dibakar, energi kimia akan dilepaskan dalam bentuk panas. Pembakaran terjadi saat Oksigen yang terkandung dalam udara bereaksi dengan karbon dan hidrogen yang terkandung dalam batubara dan menghasilkan CO2 dan air serta energi panas. Dalam kondisi normal, dengan pasokan udara yang tepat akan mengkonversi semua energi kimia menjadi energi panas.
Namun kemudian, jika pasokan udara dikurangi, maka pelepasan energi kimia dari batubara akan berkurang, dan kemudian senyawa gas baru akan terbentuk dari proses pembakaran yang tidak sempurna ini (sebut saja pembakaran “setengah matang”). Senyawa gas yang terbentuk ini terdiri atas H2, CO, dan CH4 (methana), yang masih memiliki potensi energi kimia yang belum dilepaskan. Dalam bentuk gas, potensi energi ini akan lebih mudah dialirkan dan digunakan untuk sumber energi pada proses lainnya, misalnya dibakar dalam boiler, mesin diesel, gas turbine, atau diproses untuk menjadi bahan sintetis lainnya (menggantikan bahan baku gas alam). Dengan fungsinya yang bisa menggantikan gas alam, maka gas hasil gasifikasi batubara disebut juga dengan syngas (syntetic gas). Dengan proses lanjutan, syngas ini dapat diproses menjadi cairan. Proses ini disebut dengan coal liquefaction (pencairan batubara). Metodenya ada bermacam-macam, antara lain Fischer-Tropch, Bergius, dan Scroeder.
Untuk dapat menghasilkan gas dari batubara dengan maksimal, maka pasokan oksigen harus dikontrol sehingga panas yang dihasilkan dari pembakaran “setengah matang” ditambah energi yang terkandung pada senyawa gas yang terbentuk setara dengan energi dari batubara yang dipasok.
  
A.     Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Gasifikasi
1.      Suhu Bed
Tingkat gasifikasi serta kinerja keseluruhan gasifier adalah tergantung suhu.Semua reaksi gasifikasi biasanya reversibel dan titik ekuilibrium dari setiap reaksi dapat digeser dengan mengubah suhu.
2.      Tekanan Bed
Tekanan Bed telah dilaporkan memiliki efek yang signifikan pada proses gasifikasi. Nandi dan Onischak (1985) menemukan penurunan berat badan selama devolatilization residu tanaman di N2suasana di 815oC, menurun dengan peningkatan tekanan.Namun, pada suhu konstan, konstanta laju orde pertama (k) untuk gasifikasi arang meningkat karena tekanan meningkat.Menggunakanmedia gasifikasi 50:50 H2O / N2pada suhu815oC, nilai-nilai konstanta laju (k) untuk char kayu adalah 0.101, 1.212 dan 0,201 min-1, masing-masing pada tekanan 0,17, 0,79 dan 2,17 MPa.
3.      Tinggi Bed
Pada suhu reaktor tertentu, waktu tinggal yang lebih lama (karena ketinggian bedyang lebih tinggi) meningkat berjumlah hasil gas. Sadaka et al. (1998) menunjukkan bahwa ketinggian bed yang lebih tinggi menghasilkan lebih efisiensi konversi serta suhu bed lebih rendah karena efek fly-wheel bed material. Efek fly-wheel berkurang secara signifikan ketika jumlah bahan bed berkurang sehingga menghasilkan suhu bed yang lebih tinggi.
4.      Kecepatan fluidisasi
Kecepatan fluidisasi memainkan peran penting dalam pencampuran partikel dalam fluidized bed. Dalam sistem gasifikasi udara, semakin tinggi kecepatan fluidisasi semakin tinggi suhu bed dan semakin rendah menghasilkan nilai kalor gas akibat peningkatan jumlah oksigen dan nitrogen dalam gas inlet ke system
5.      Rasio Kesetaraan
Rasio kesetaraan memiliki pengaruh kuat pada kinerja gasifiers karena itu mempengaruhi suhu bed, kualitas gas, dan efisiensi termal. Peningkatan rasio kesetaraan mengakibatkan tekanan rendah baik di bed padat dan daerah freeboard ketika gasifier dioperasikan pada kecepatan fluidisasi yang berbeda dan ketinggian bed.
6.      Kadar air dari bahan
Kadar air dari bahan pakan mempengaruhi suhu reaksi karena energi diperlukan untuk menguapkan air dalam bahan bakar. Oleh karena itu, proses gasifikasi berlangsung pada suhu rendah.
7.      Ukuran partikel
Ukuran partikel secara signifikan mempengaruhi hasil gasifikasi.Ukuran partikel kasar akan menghasilkan lebih banyak tar dan kurang tar yang  mereka hasilkan. Tingkat difusi termal dalam partikel menurun dengan peningkatan ukuran partikel, sehingga mengakibatkan tingkat pemanasan yang lebih rendah.Untuk diberikan suhu, hasil gas yang dihasilkan dan komposisi meningkat dengan penurunan ukuran partikel.
8.      Rasio udara dan uap
Meningkatkan rasio udara dan uapakan meningkatkan nilai kalor gas sampai memuncak. Tomeczek et al. (1987) menggunakan campuran udara-uap dalam proses gasifikasi batubara dalam fluidized bed reaktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh rasio uap dan udara pada arang terutama pada rasio yang lebih rendah karena fakta bahwa uap digunakan pada tahap devolatilisasi memberikan kontribusi terhadap proses gasifikasi bahkan dalam kasus ketika uap tidak ditambahkan. Ketika rasio uap air meningkat, nilai kalor meningkat, mencapai puncaknya pada 0,25 kg / kg.
9.      Ada Tidaknya Katalis
Katalis komersial dan non-komersial diuji dalam berbagai proses gasifikasi. Salah satu masalah utama dalam steam katalitik tar adalah endapan karbon pada katalis dari karakter aromatik karbon yang tinggi.

Proses –Proses Pada Reaktor Gasifikasi
Gasifikasi secara sederhana dapat dijelaskan sebagai proses pembakaran bertahap. Hal ini dilakukan dengan membakar bahan bakar padat dengan ketersediaan oksigen yang terbatas sehingga gas yang terbentuk dari hasil pembakaran masih memiliki potensi untuk terbakar. Bahan bakar gasifikasi dapat berupa material padatan berkarbon biasanya biomassa (kayu atau limbah berselulosa) atau batubara. Semua senyawa organic mengandung atom karbon (C), hydrogen (H) dan oksigen (O), dalam wujud molekul komplek yang bervariasi. Gasifikasi terdiri dari empat tahapan terpisah yaitu :
  •   Pengeringan: T > 150 °C
  •  Pirolisis/Devolatilisasi: 150 < T < 700°C,
  • Oksidasi/pembakaran: 700 < T < 1500 °C 
  • Reduksi: 800 < T < 1000 °C

1.       Pengeringan
Pada pengeringan, kandungan air pada bahan bakar padat diuapkan oleh panas yang diserap dari proses oksidasi. Reaksi ini erletak pada bagian atas reaktor dan merupakan zona dengan temperature paling rendah di dalam reaktor yaitu di bawah 150áµ’ C. Proses pengeringan ini sangat penting dilakukan agar pengapian pada burner dapat terjadi lebih cepa dan lebih stabil.

2.       Pirolisis
Pirolisis adalah proses pemecahan struktur bahan bakar dengan menggunakan sedikit oksigen melalui pemanasan menjadi gas. Pada pirolisis, pemisahan volatile matters (uap air, cairan organik, dan gas yang tidak terkondensasi) dari arang atau padatan karbon bahan bakar juga menggunakan panas yang diserap dari proses oksidasi. Suatu rangkaian proses fisik dan kimia terjadi selama proses pirolisis yang dimulai secara lambat pada T 700 °C. Komposisi produk yang tersusun merupakan fungsi temperatur, tekanan, dan komposisi gas selama pirolisis berlangsung.
Produk cair yang menguap mengandung tar dan PAH (polyaromatic hydrocarbon). Produk pirolisis umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu gas ringan (H2, CO, CO2, H2O, dan CH4), tar, dan arang.

3. Oksidasi (Pembakaran)
Untuk melakukan reaksi oksidasi (pembakaran) terdapat tiga elemen penting yang saling mengisi satu sama lain yaitu panas,bahan bakar, dan udara. Reaksi pembakaran sangat berkaitan dengan keberadaan ketiga elemen tersebut karena apabila salah satu dati ketiga elemen tersebut tidak ada maka hamper dapat dipastikan tidak akan terjadi proses pembakaran.
Oksidasi atau pembakaran arang merupakan reaksi terpenting yang terjadi di dalam gasifier. Proses ini menyediakan seluruh energi panas yang dibutuhkan pada reaksi endotermik. Oksigen yang dipasok ke dalam gasifier bereaksi dengan substansi yang mudah terbakar. Hasil reaksi tersebut adalah CO2 dan H2O yang secara berurutan direduksi ketika kontak dengan arang yang diproduksi pada pirolisis. Reaksi yang terjadi pada proses pembakaran adalah:

                    C + O2 → CO2 + 393.77 kJ/mol karbon

4.       Reduksi (Gasifikasi)
Reduksi atau gasifikasi melibatkan suatu rangkaian reaksi endotermik yang disokong oleh panas yang diproduksi dari reaksi pembakaran. Produk yang dihasilkan pada proses ini adalah gas bakar, seperti H2, CO, dan CH4. Reaksi berikut ini merupakan empat reaksi yang umum telibat pada gasifikasi.
C + H2O → H2 + CO – 131.38 kJ/kg
mol karbon CO2 + C → 2CO – 172.58 kJ/mol
CO + H2O → CO2 + H2 – 41.98 kJ/mol
C + 2H2 → CH4 + 74.90 kJ/mol karbon Berikut merupakan tahapan tahapan reduksi :

5.      Water-gas reaction
Water-gas reaction merupakan reaksi oksidasi parsial karbon oleh kukus yang dapat berasal dari bahan bakar padat itu sendiri (hasil pirolisis) maupun dari sumber yang berbeda, seperti uap air yang dicampur dengan udara dan uap yang diproduksi dari penguapan air. Reaksi yang terjadi pada water-gas reaction adalah:
C + H2O -> H2 + CO – 131.38 kJ/kg mol karbon

Pada beberapa gasifier, kukus dipasok sebagai medium penggasifikasi dengan atau tanpa udara/oksigen.

6.      Boudouard reaction
Boudouard reaction merupakan reaksi antara karbondioksida yang terdapat di dalam gasifier dengan arang untuk menghasilkan CO. Reaksi yang terjadi pada Boudouard reaction adalah:
CO2 + C -> 2CO – 172.58 kJ/mol karbon

7.      Shift conversion
Shift conversion merupakan reaksi reduksi karbonmonoksida oleh kukus untuk memproduksi hidrogen. Reaksi ini dikenal sebagai water-gas shift yang menghasilkan peningkatan perbandingan hidrogen terhadap karbonmonoksida pada gas produser. Reaksi ini digunakan pada pembuatan gas sintetik. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
CO + H2O -> CO2 + H2 – 41.98 kJ/mol

8.      Methanation
Methanation merupakan reaksi pembentukan gas metan. Reaksi yang terjadi pada methanation adalah:
C + 2H2 -> CH4 + 74.90 kJ/mol karbon

Teknologi Gasifikasi
Teknologi gasifikasi yang terus berkembang mengarahkan klasifikasi teknologi sesuai dengan sifat fisik maupun system yang berlangsung dalam menciptakan proses gasifikasi. Berdasarkan mode fluidisasinya,gasifier dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
  • Gasifikasi unggun tetap (fixed bed gasification) 
  • Gasifikasi unggun terfluidisasi (fluidized bed gasification)
  • Gasifikasi entrained flow.

4. 1.  Fixe bed Reaktor
Pada konfigurasi ini, batubara diumpankan  dari atas kemudian perlahan-lahan turun kebawah dan dipanaskan oleh gas panas dari arah bawah. Batubara melewati zona karbonisasi kemudian zona gasifikasi, akhirnya sampai pada zona pembakaran pada bagian bawah gasifier tempat reaktan gas diinjeksi. Sistem ini diilustrasikan pada Gambar 2. berikut ini :
 
Gambar 2. Fixed bed gasifier

Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier, yaitu :
 
 
Gambar 3. Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier

Pada proses gasifikasi dengan fixed bed gasifier
Ada 4 zona reaksi yaitu :
1.      Zona devolatilisasi.
Pada zona ini terjadi penguapan uap air dan zat-zat volatil yang terkandung dalam batubara.
2.      Zona Gasifikasi
Pada zona ini uap air yang dialirkan dan CO2 yang terbentuk dari pembakaran sempurna bereaksi dengan batubara pada suhu tinggi membentuk gas sintesis yang terdiri dari CO, H2 dan N2.
3.      Zona Pembakaran
Pada zona ini oksigen yang masuk bereaksi dengan sebagian batubara membentuk CO2 dan H2O yang diperlukan dalam reaksi gasifikasi.
4.      Zona abu
Zona ini adalah tempat penampungan abu yang dihasilkan, baik hasil reaksi pembakaran maupun reaksi gasifikasi.

a.   Updraft gasifier
Pada updraft gasifier, udara masuk melalui bagian bawah gasifier melalui grate dan ailiran bahan bakar masuk dari bagian atas. Proses ini terjadi secara beralawanan arah (counter current). Gas produser yang dihasilkan keluar dari bagian atas sedangkan abu diambil di bagian bawah. Reaksi pembakaran (oksidasi) pada jenis ini terjadi di dekat grate dan diikuti reaksi reduksi (proses gasifikasi) kemudian gas produser menembus unggun bahan bakar menuju ke daerah yang memiliki temperatur lebih rendah. Sistem Updraft Gasifier dapat dilihat pada gambar 4.
 
Gambar 4. Updraft Gasifier

b.      Downdraft gasifier
Pada downdraft gasifier udara dimasukkan ke dalam aliran bahan bakar padat (packed bed) pada atau di atas zona oksidasi. Aliran udara ini searah (co- current) dengan aliran bahan bakar yang masuk ke dalam gasifier. Udara dimasukkan dari bagian atas. Gas hasil pembakaran dilewatkan pada bagian oksidasi dari pembakaran dengan cara ditarik mengalir ke bawah sehingga gas yang dihasilkan akan lebih bersih karena tar dan minyak akan terbakar sewaktu melewati bagian tadi. Sistem Downdraft Gasifier dapat dilihat pada gambar 5.
 Gambar 5. Downdraft Gasifier

c.       Crossdraft gasifier
Pada Crossdraft gasifier, udara disemprotkan ke dalam ruang bakar dari lubang arah samping yang saling berhadapan dengan lubang pengambilan gas sehingga pembakaran dapat terkonsentrasi pada satu bagian saja dan berlangsung secara lebih banyak dalam suatu satuan waktu tertentu. Sistem Crossdraft Gasifier dapat dilihat pada gambar 6.
 
Gambar 6. Crossdraft Gasifier

4. 2.  Fluidized bed Reaktor
Dalam fluidized bed gasifier, reaktor gas digunakan untuk membuat fluidisasi material batubara. Untuk menghindari sintering dari abu, fluidized bed gasifier dibatasi beroperasi pada temperatur non-slagging. 


Gambar 7.  Fluidized bed gasifier

Batubara dimasukkan dari bagian samping sedangkan oksidannya dari arah bawah. Oksidan (O2 dan uap) selain berperan sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat  maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya atau bersifat komplementer.

4.3.  Entrained flow Reaktor
Batubara dialirkan kedalam gasifier secara cocurrent atau bersama-sama dengan agen gasifikasi atau oksidan berupa uap air dan oksigen, bereaksi pada tekanan atmosfer. Pada entrained gasifier, batubara dihaluskan sampai ukuran kurang dari 0,1 mm diumpankan dengan reaktan gas ke dalam chamber dimana reaksi gasifikasi terjadi seperti halnya sistem pembakaran bahan bakar berbentuk serbuk.

Residence time  partikel padatan yang singkat dalam sistem fase entrained memerlukan kondisi operasi dibawah slagging untuk mencapai laju reaksi dan konversi karbon yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa operasi non-slagging pada entrained gasifier baik sekali hanya untuk proses hidrogasifikasi.

Gambar 8.  Entrained gasifier