Museum SMB II |
Siang hari yang panas
menjelang zuhur, saya masih bermandikan keringat sehabis keliling BKB dan museum
Sultan Mahmud Badarudin II. Karena begitu dahaga, saya dan beberapa orang
teman, kemudian mencari penjual minuman dan makanan kecil yang banyak di sekitar
masjid Agung nan megah itu.
Masjid Agung SMB II |
Setelah puas menghilangkan dahaga, saya dan beberapa orang
teman kemudian sedikit kebingungan untuk membuang limbah plastik, sisa minuman
dan makanan. Akhirnya kami pun mendapatkan akal untuk membuangnya di sela-sela
pagar yang mengitari masjid itu. Ketika hendak beranjak meninggalkan temapat
kami nongkrong tadi, tiba-tiba datang seorang laki-laki bertubuh legam dan
berpakaian lusuh mengambil plastik, yang masih berisi es dan cuka empek-empek
yang telah kami buang. Dan mau tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Saya
melihatnya, laki-laki itu meminum es yang masih tersisa di plastik yang telah
saya buang. Setelah puas, kemudian ia kembali mengambil plastik yang masih
berisi cuka empek-empek. Dan menghirupnya sampai habis. Kemudian membuang
plastiknya dan meninggalkan saya dan teman-teman yang masih tertegun
menyaksikan kejadian yang hanya berlalu beberapa detik itu.
Sesampai di rumah menjelang magrib, saya kembali teringat
kejadian siang tadi. Hati saya miris menangis dan merasa begitu bodoh dan
tersindir. Selama ini saya jarang bersimpati kepada pengamen di bus-bus yang
bobrok atau pengemis-pengemis yang banyak berjajar di jematan-jembatan
penyeberangan. Toh saya pikir mereka hanya manusia-manusia pemalas yang hanya
menggantungkan hidupnya dari belas kasihan orang lain. Namun, saya tidak pernah
berpikir serius, ternyata kehidupan begitu keras, hingga membuat banyak orang
yang kelaparan dan makan dengan mengais-ngais sisa makanan orang lain yang
telah dianggap sampah.
Tiba-tiba ingatan saya, tertuju pada kejadian belasan tahun
yang lalu. Waktu itu saya masih bocah ingusan yang baru duduk di sekolah dasar.
Salah satu teman bermain saya, sebut saja namanya Eki pernah bertanya kepada
saya.
“Eh, kamu kalo makan, senengnya pake lauk apa,” tanyanya.
Sayapun kemudian menjawabnya dengan bercerita dengan panjang
lebar. Dengan bangga saya mengatakan kepadanya, bahwa tiap hari saya makan
dengan lauk pauk yang serba mewah, tentu dengan dibumbui kebohongan di
sana-sini, dengan tujuan agar dia merasa iri. Namun di luar dugaan saya, dia
hanya tersenyum tipis dan kemudian berkata kepada saya.
“Oh, kalo aku di rumah, paling seneng makan nasi sama garam
dan minyak jelantah,” ujarnya bangga.
Mendengar semangatnya ia bercerita tentang makanan favoritnya
itu, membuat saya mersa iri. Hingga pada suatu kesempatan ketika saya
bertandang kerumahnya yang sempit dan berlantai tanah, sayapun memintanya untuk
menunjukkan makanan favoritnya itu. Sesampainya dirumahnya, teman saya itupun
menunjukkan makana favoritnya itu, dan akhirnya terjawablah sudah pertanyaan
saya bagaimana bentuk si minyak jelantah itu. Minyak sisa menggoreng yang
warnanya sudah menghitam, mungkin karena seringnya digunakan untuk menggoreng.
Kemudian ia mencampurnya dengan garam dan menuangkannya di atas nasi putih,
untuk kemudian memakannya dengan lahap. Begitu irinya saya melihat dia melahap
makanan favoritnya itu, hingga saya pun buru-buru pulang ke rumah, tentu karena
penasaran dengan rasa makanan favoritnya itu.
Sesampai dirumah, mulailah saya mencari “sang minyak
jelantah” di atas penggorengan yang warnanya tidak sehitam ketika saya lihat di
rumah Eki teman saya. Kemudian mencampurnya dengan garam, dan menyiramkannya di
atas sepiring nasi putih yang telah saya siapkan. Satu suapan masuk kemulut
saya. Alhasil sayapun muntah.
Saat itu yang ada dipikiran kecil saya, adalah perasaan iri
kepada teman saya Eki. Mengapa dia begitu menikmati makanan favoritnya itu,
sedangkan saya malah memuntahkannya. Apakah ada yang salah denagn lidah saya?
Menjelang dewasa, sayapun mengerti dengan sendirinya. Ya, sang Eki mungkin
telah terbiasa dengan nasi, garam, dan minyak jelantahnya. Hingga yang ada di
lidahnya, bukan lagi enak, tahu tidak enaknya ketika makanan itu masuk
kemulutnya, tetapi lebih kepada kebutuhan perut yang tidak bias menimbang untuk
memilih makan yang masuk kedalamnya. Seperti juga dengan lelaki lusuh yang saya
temui di dekat masjid Agung itu. Mengapa lelaki itu tidak mersa jijik ketika
memakan sampah sisa makanan orang lain.
Saya memang bukan seorang anak konglomerat yang memiliki
perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Tetapi bukan juga sang Eki yang
makan dengan nasi, garam dan minyak jelantah. Cukuplah untuk memenuhi kebutuhan
hidup dengan asupan gizi yang lumayan. Ketika saya begitu nelangsa, karena uang
kiriman dari orang tua, tidak sebanyak yang diterima oleh teman saya yang
memiliki laptop dan kamera digital. Saya mencoba untuk mencambuk hati saya
dengan mengenang Eki teman kecil saya. Ketika saya merasa begitu miskin karena
tidak semua keinginan saya bisa semuanya terwujud. Saya mencoba untuk lebih
banyak melihat ke bawah. Pengamen-pengamen cilik dengan pakaian kumal dan
kericikan lusuhnya. Mbah-mbah di pasar tradisional yang menjual sayuran yang
sudah layu. Wanita-wanita muda yang usianya mungkin jauh di bawah saya di
tempat-tempat pengisian bahan bakar. Gadis kecil yang sering meneriakkan nasi
uduk di tempat kos saya yang lama. Bapak penjual empek-empek yang berjalan
lebih dari 20 Km. Melihat itu semua, membuat saya merasa begitu kecil. Ternyata
selama ini saya baru sadar. Uang ongkos angkot saya pergi dan pulang dari
kampus. Makanan-makanan yang saya beli di warung-warung nasi. Cemilan yang
menemani malam-malan saya. Pulsa di hp butut saya. Buku-buku yang dengan
bangganya saya pamerkan kepada teman-teman saya. Fotokopian tugas kuliah saya.
Ternyata semua itu berasal dari kiriman orang tua saya setiap bulan. Dan bentuk
belas kasihan dari sang Maha Pemberi kepada diri saya yang hina dan kikir untuk
berinfak walau hanya seribu, dua rupiah. Dan semua itu membuat saya malu,
sungguh. Wallahu’alam.