I.
Pengertian
Batubara
Potensi
sumber daya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan
dan Pulau Sumatera. Badan Geologi Nasional memperkirakan Indonesia masih
memiliki 120,53 miliar ton sumber daya batubara dan 31,35 miliar ton cadangan
batu bara. Kualitas suatu batubara dapat ditentukan dengan cara analisa
parameter tertentu baik secara fisik maupun secara kimia. Umumnya, untuk
menentukan kualitas batubara dilakukan analisa kimia pada batubara di
laboratorium yang diantaranya berupa analisis proksimat, analisis ultimat dan
nilai kalor.
Batubara
menjadi salah satu sumber material utama yang digunakan dalam pembuatan bahan
bakar. Batubara merupakan sumber daya alam yang berfungsi bukan hanya sebagai
bahan bakar mesin uap, tetapi juga mampu digunakan sebagai pembangkit listrik
dalam bidang industri (Brown and Spiegel 2017)
Ardian
A. Menjelaskan bahwa secara umum batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan purba
yang mengalami pengendapan pada kondisi tertentu selama jutaan tahun. Pada
kondisi tertentu disini yaitu pada kondisi dimana tumbuhan purba tersebut
terendapkan pada area tanpa oksigen, sehingga bakteri aerob yang akan
membusukkan tumbuhan tersebut tidak mampu berkembang dengan baik. Dengan
pengendapan yang lama dengan bantuan tekanan dan suhu yang tinggi maka setelah
jutaan tahun akan mengalami proses pembatubaraan (coalification),
terbentuklah gambut, lignit, sub-bituminus, bituminous, kemudian antrasit
secara berurutan berdasarkan kualitas batubara tersebut. Sebenarnya berdasarkan
teori tempat terbentuknya, terdapat 2 teori yang dikenal, teori insitu dan
teori drift. Pada teori insitu batubara terbentuk ditempat tumbuhan purba
tersebut ada, sedangkan teori drift.
Material bahan bakar
yang penggunaannya mencapai 40% khususnya dalam penghasil listrik adalah
batubara (Andrianopoulos, et.al,
2015). Batubara menjadi salah satu sumber material utama yang digunakan dalam
pembuatan bahan bakar. Batubara merupakan sumber daya alam yang berfungsi bukan
hanya sebagai bahan bakar mesin uap, tetapi juga mampu digunakan sebagai
pembangkit listrik dalam bidang industri (Brown and Spiegel 2017). Saat ini, keberadaan batubara didunia semakin menipis akibat
penambangan-penambangan yang terus dilakukan. Pembentukan batubara secara
sempurna harus ditempuh dalam kurun waktu wang sangat lama.
Batubara berbentuk
bahan bakar fosil padat yang pembentukannya diperoleh dari hasil peatifikasi,
diagenesis dan metamorfosis tanaman. Tahap
peatifikasi terjadi pada daerah perairan atau rawa-rawa sehingga
kadar air pada gambut menjadi meningkat. Selanjutnya, pada tahap diagenetik
mulai terjadi pemadatan gambut dan mulai berkurangnya kadar air (dehidrasi)
serta terbentuknya gas metana. Kedalaman dari tumpukan gambut sangat
mempengaruhi metamorfosis dari batubara. Kedudukan dan letak berbanding lurus
dengan suhu serta tekanan yang mengakibatkan batubara mengalami perubahan fisik
dan kimia. Tahap inilah yang disebut dengan metamorfosis (Song et al. 2017)
Indonesia merupakan
salah satu Negara pengekspor batubara besar didunia, Sumatera Selatan khususnya
merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia sekitar 39.64%
Di Indonesia, endapan batubara yang
bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat
Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat
dikelompokkan sebagai batu bara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah,
kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas,
kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.
Batubara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba
sekitar khatulistiwa yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa di antaranya
tegolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata-rata pada
iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada
kondisi di mana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam
sistem dan membentuk lapisan batu bara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan
menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batu bara Miosen.
Sebaliknya, endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan
sulfur tinggi. Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada lingkungan
lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan gambut
yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan.
II.
Pencairan Batubara
Pencairan batubara (Coal Liqeufaction)
adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dan menghasilkan bahan
bakar cair sintetis. Batubara yang berupa padatan diubah menjadi bentuk cair
dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi. Atau disebut juga dengan Likuifaksi
Batubara.
Banyak faktor yang mempengaruhi proses pencairan
batubara baik yang berhubungan dengan karakteristik batubara itu sendiri maupun
yang berhubungan dengan kondisi operasional pencairan yang diterapkan.
Karakteristik batubara seperti kandungan maseral batubara memiliki pengaruh
yang cukup signifikan pada proses pencairan. Maseral Vitrinit yang terdapat dalam
batubara peringkat rendah dapat dengan mudah terhidrogenasi dan tercairkan,
sedangkan pada batubara peringkat tinggi proses pencairan memerlukan energi
yang cukup besar.
Menurut Tsai (1982) Maseral eksinit (liptinit)
lebih cocok untuk proses pencairan, sebab maseral eksinit (liptinit) yang
terdapat dalam batubara peringkat rendah mempunyai kandungan hindrogen yang
tinggi, Sedangkan inertrinit yang terdapat dalam semua peringkat batubara tidak
cocok untuk proses pencairan batubara dikarenakan kandungan hidrogennya yang
rendah.
Proses pencairan batubara dapat dilakukan dengan dua metode yaitu :
1. Metode Langsung
2. Metode Tidak Langsung.
2.1. Metode Lansung
Pada proses Metode langsung Batubara cair diproduksi
dengan melarutkan dalam suatu pelarut organik lalu dilanjutkan dengan proses hidrogenasi
pada suhu dan tekanan tinggi. Proses pencairan batubara sercara langsung dapat
dilakukan melalui pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
Proses pencairan batubara secara
langsung dapat dilakukan melalui pirolisis, ekstraksi pelarut dan hidrogenasi
katalitik.
2.1.1 Pirolisis
Teknologi
pengolahan batubara yang telah dikembangkan dan dimanfaatkan secara komersial
diantaranya adalah pembakaran, pirolisis, gasifikasi, dan likuifaksi. Pirolisis
batubara merupakan salah satu proses penting pada teknologi konversi batubara.
Pirolisis batubara pada dasarnya adalah proses pemanasan batubara dengan suhu
meningkat dengan tanpa adanya atau sedikit udara atau reagen lainnya yang tidak
memungkinkan terjadinya reaksi gasifikasi. Selama proses pirolisis terjadi,
batubara akan terdekomposisi dan menghasilkan condensable gases yang disebut
dengan tar, non-condensable gases yang disebut dengan gas dan padatan
mikrokristalin yang disebut dengan char. Produk hasil pirolisis batubara tidak
hanya menghasilkan energi yang bersih tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan
baku untuk industri kimia.
Produk
pirolisis batubara yang berpotensi besar sebagai bahan baku industri kimia
adalah char dan tar. Char adalah produk hasil pirolisis batubara yang berbentuk
padat. Batubara bituminus merupakan jenis batubara dengan kualitas baik yang
tergolong ke dalam jenis coking coal/metallurgical coal yang apabila
dipirolisis akan menghasilkan char yang memiliki struktur kohern yang sering
disebut dengan kokas metalurgi. Kokas metalurgi digunakan sebagai bahan bakar dan
agen pereduksi dalam produksi baja, besi, fosfor, kalsium karbida, elektroda
karbon dan beberapa industri lainnya. Selanjutnya apabila kokas ini
digasifikasi, akan menghasilkan syngas yang merupakan bahan baku industri
petrokimia.
Tar
adalah produk hasil pirolisis batubara yang berbentuk cair. Tar dapat digunakan
sebagai bahan baku industri kimia seperti karet sintesis, polimer, obatobatan,
pelarut, grafit dan coating. Tar hasil pirolisis batubara juga merupakan sumber
senyawa benzen dan turunannya yang sangat penting seperti naftalen yang
merupakan bahan dasar industri polimer seperti plastik.
Sejumlah
proses baru terus dikembangkan untuk menghasilkan tidak hanya hasil char dan
tar yang optimum, tetapi juga gas yang dihasilkan. Kokas metalurgi pada dasarnya
adalah char hasil pirolisis batubara jenis bituminus pada suhu rendah (773-973
K) dan waktu tinggal fase uap lama. Proses pembuatan kokas dengan metode
pirolisis seperti ini disebut dengan karbonisasi. Pirolisis batubara bituminus
akan menghasilkan hasil char dan tar yang tinggi dengan hasil gas yang rendah.
Meskipun
demikian, telah dilakukan beberapa modifikasi pada proses karbonisasi dengan
tujuan tertentu. Salah satunya dengan menambahkan katalisator Ca(OH)2 pada
pirolisis batubara bituminus Australian Newlands untuk menghasilkan char yang
selanjutnya akan dijadikan bahan baku pada proses gasifikasi. Penambahan
katalisator pada proses pirolisis akan meningkatkan reaktivitas char yang akan
sangat berpengaruh pada efisiensi gasifier. Pada Gasifier jenis fluidized-bed,
reaktivitas char yang tinggi berarti konversi karbon sebelum meninggalkan bed
tinggi, sirkulasi yang diperlukan untuk mencapai konversi tinggi menjadi lebih
sedikit, dan konversi tinggi berarti volume gasifier yang diperlukan lebih kecil.
Penambahan katalisator Ca(OH)2 pada proses pirolisis juga diharapkan akan
menurunkan kandungan sulfur pada produk hasil pirolisis.
Proses
pirolisis juga dapat dilakukan dengan penambahan gas, baik gas inert atau gas
pereaksi dengan tujuan tertentu. Penambahan gas inert seperti N2 pada proses
pirolisis akan meningkatkan porositas pada char sehingga char yang dihasilkan
lebih reaktif. Pirolisis dengan penambahan gas pereaksi seperti H2 akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi sekunder pada char dan menghasilkan
gas dengan komposisi utama metana dan etana.
Dalam
pirolisis juga dikenal model Three Lumps, menyatakan bahwa suatu bahan padat
akan terurai menjadi 3 produk yaitu padat, cair dan gas berdasarkan reaksi
paralel orde satu. Model Three Lumps diantaranya diajukan oleh Thurner dan Mann
(1981) juga Shen (2007). Aplikasi dari model-model tersebut memungkinkan untuk
mendapatkan nilai parameter-parameter kinetika pirolisis.
2.1.2
Ekstraksi Pelarut
Mekanisme proses ini adalah batubara dilarutkan
dalam pelarut donor hydrogen yang dapat memindahkan atom hydrogen kedalam batubara
dengan menggunakan suhu dan tekanan yang tinggi. Proses ini akan menghasilkan gas,
cairan, batubara tak terkonversi serta abu.
2.1.3
Hidrogenasi Khatalitik
Merupakan hidrogenasi batubara dalam larutan donor
hydrogen dengan bantuan katalis oksida besi pada tekanan antara 35 atm –275 atm
dan suhu 3750C – 4500C. Hidrogenasi adalah proses reaksi batubara dengan gas hydrogen bertekanan
tinggi. Reaksi ini diatur sedemikian rupa (kondisi reaksi, katalisator dan
kriteria bahan baku) agar dihasilkan senyawa hidrokarbon sesuai yang
diinginkan, dengan spesifikasi mendekati minyak mentah. Sejalan
perkembangannya, hidrogenasi batubara menjadi proses alternativ untuk mengolah
batubara menjadi bahan bakar cair pengganti produk minyak bumi, proses ini
dikenal dengan nama Bergius proses, disebut juga proses pencairan
batubara (coal liquefaction).
Faktor – Faktor yang mempengaruhi
·
Peringkat
Batubara
Proses
pencairan batubara pada peringkat rendah akan menghasilkan perolehan minyak
yang lebih tinggi dari pada batubara peringkat tinggi. Batubara peringkat
rendah memiliki laju kecepatan reaksi yang lebih besar dari batubara peringkat
tinggi
·
Temperatur operasi
Tingkat
kelarutan cenderung semakin meningkat
dengan kenaikan temperatur
Temperatur
yang digunakan antara 3500C - 5000C. Temperatur diatas
5000C cenderung membentuk kokas dan menyebabkan aglomerasi partikel,
meningkatkan kosumsi hydrogen dan meningkatkan produksi gas.
Temperatur
dibawah 3000C partikel batubara belum sempurna terkonversi
·
Tekanan Operasi
·
Waktu Operasi
·
Katalis
2.2
Metode Tak Lansung
Pada proses tidak langsung batubara difragmentasi menjadi CO, CO2,
H2, dan CH4 yang kemudian direkombinasikan menghasilkan
produk cair, prosesnya melalui gasifikasi dan kondensasi.
2.2.1
Gasifikasi (coal gasification)
Proses gasifikasi batubara adalah proses yang mengubah
batubara dari bahan bakar padat menjadi bahan bakar gas. Dengan mengubah
batubara menjadi gas, maka material yang tidak diinginkan yang terkandung dalam
batubara seperti senyawa sulfur dan abu, dapat dihilangkan dari gas dengan
menggunakan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan gas bersih dan dapat
dialirkan sebagai sumber energi.
Sebagaimana diketahui, saat bahan bakar dibakar, energi
kimia akan dilepaskan dalam bentuk panas. Pembakaran terjadi saat Oksigen yang
terkandung dalam udara bereaksi dengan karbon dan hidrogen yang terkandung
dalam batubara dan menghasilkan CO2 dan air serta energi panas.
Dalam kondisi normal, dengan pasokan udara yang tepat akan mengkonversi semua
energi kimia menjadi energi panas.
Namun kemudian, jika pasokan udara dikurangi, maka pelepasan
energi kimia dari batubara akan berkurang, dan kemudian senyawa gas baru akan
terbentuk dari proses pembakaran yang tidak sempurna ini (sebut saja pembakaran
“setengah matang”). Senyawa gas yang terbentuk ini terdiri atas H2,
CO, dan CH4 (methana), yang masih memiliki potensi energi kimia yang
belum dilepaskan. Dalam bentuk gas, potensi energi ini akan lebih mudah
dialirkan dan digunakan untuk sumber energi pada proses lainnya, misalnya dibakar
dalam boiler, mesin diesel, gas turbine, atau diproses untuk menjadi bahan
sintetis lainnya (menggantikan bahan baku gas alam). Dengan fungsinya yang bisa
menggantikan gas alam, maka gas hasil gasifikasi batubara disebut juga dengan
syngas (syntetic gas). Dengan proses lanjutan, syngas ini dapat diproses
menjadi cairan. Proses ini disebut dengan coal liquefaction (pencairan
batubara). Metodenya ada bermacam-macam, antara lain Fischer-Tropch, Bergius,
dan Scroeder.
Untuk dapat menghasilkan gas dari batubara dengan maksimal,
maka pasokan oksigen harus dikontrol sehingga panas yang dihasilkan dari
pembakaran “setengah matang” ditambah energi yang terkandung pada senyawa gas
yang terbentuk setara dengan energi dari batubara yang dipasok.
A. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Gasifikasi
1. Suhu Bed
Tingkat gasifikasi
serta kinerja keseluruhan gasifier adalah tergantung suhu.Semua reaksi
gasifikasi biasanya reversibel dan titik ekuilibrium dari setiap reaksi dapat
digeser dengan mengubah suhu.
2. Tekanan Bed
Tekanan Bed telah dilaporkan memiliki efek yang
signifikan pada proses gasifikasi. Nandi dan Onischak (1985) menemukan
penurunan berat badan selama devolatilization residu tanaman di N2suasana
di 815oC, menurun dengan peningkatan tekanan.Namun, pada suhu
konstan, konstanta laju orde pertama (k) untuk gasifikasi arang meningkat
karena tekanan meningkat.Menggunakanmedia gasifikasi 50:50 H2O / N2pada
suhu815oC, nilai-nilai konstanta laju (k) untuk char kayu adalah
0.101, 1.212 dan 0,201 min-1, masing-masing pada tekanan 0,17, 0,79
dan 2,17 MPa.
3. Tinggi Bed
Pada suhu reaktor
tertentu, waktu tinggal yang lebih lama (karena ketinggian bedyang lebih tinggi) meningkat berjumlah hasil gas. Sadaka et al.
(1998) menunjukkan bahwa ketinggian bed yang
lebih tinggi menghasilkan lebih efisiensi konversi serta suhu bed lebih rendah karena efek fly-wheel bed material. Efek fly-wheel berkurang secara signifikan
ketika jumlah bahan bed berkurang
sehingga menghasilkan suhu bed yang
lebih tinggi.
4. Kecepatan fluidisasi
Kecepatan
fluidisasi memainkan peran penting dalam pencampuran partikel dalam fluidized bed. Dalam sistem gasifikasi
udara, semakin tinggi kecepatan fluidisasi semakin tinggi suhu bed dan semakin rendah menghasilkan
nilai kalor gas akibat peningkatan jumlah oksigen dan nitrogen dalam gas inlet ke system
5.
Rasio Kesetaraan
Rasio kesetaraan
memiliki pengaruh kuat pada kinerja gasifiers karena itu mempengaruhi suhu bed, kualitas gas, dan efisiensi termal.
Peningkatan rasio kesetaraan mengakibatkan tekanan rendah baik di bed padat dan daerah freeboard ketika gasifier dioperasikan
pada kecepatan fluidisasi yang berbeda dan ketinggian bed.
6. Kadar
air dari bahan
Kadar air dari
bahan pakan mempengaruhi suhu reaksi karena energi diperlukan untuk menguapkan
air dalam bahan bakar. Oleh karena itu, proses gasifikasi berlangsung pada suhu
rendah.
7.
Ukuran
partikel
Ukuran partikel
secara signifikan mempengaruhi hasil gasifikasi.Ukuran partikel kasar akan
menghasilkan lebih banyak tar dan kurang tar yang mereka hasilkan. Tingkat difusi termal dalam
partikel menurun dengan peningkatan ukuran partikel, sehingga mengakibatkan
tingkat pemanasan yang lebih
rendah.Untuk diberikan suhu, hasil gas yang dihasilkan dan komposisi meningkat
dengan penurunan ukuran partikel.
8.
Rasio udara dan uap
Meningkatkan rasio
udara dan uapakan meningkatkan nilai kalor gas sampai memuncak. Tomeczek et al. (1987) menggunakan campuran
udara-uap dalam proses gasifikasi batubara dalam fluidized bed reaktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh
rasio uap dan udara pada arang terutama pada rasio yang lebih rendah karena
fakta bahwa uap digunakan pada tahap devolatilisasi
memberikan kontribusi terhadap proses gasifikasi bahkan dalam kasus ketika
uap tidak ditambahkan. Ketika rasio uap air meningkat, nilai kalor meningkat,
mencapai puncaknya pada 0,25 kg / kg.
9. Ada
Tidaknya Katalis
Katalis komersial
dan non-komersial diuji dalam berbagai proses gasifikasi. Salah satu masalah
utama dalam steam katalitik tar
adalah endapan karbon pada katalis dari karakter aromatik karbon yang tinggi.
Proses
–Proses Pada Reaktor Gasifikasi
Gasifikasi secara sederhana dapat
dijelaskan sebagai proses pembakaran bertahap. Hal ini dilakukan dengan
membakar bahan bakar padat dengan ketersediaan oksigen yang terbatas sehingga
gas yang terbentuk dari hasil pembakaran masih memiliki potensi untuk terbakar.
Bahan bakar gasifikasi dapat berupa material padatan berkarbon biasanya
biomassa (kayu atau limbah berselulosa) atau batubara. Semua senyawa organic
mengandung atom karbon (C), hydrogen (H) dan oksigen (O), dalam wujud molekul
komplek yang bervariasi. Gasifikasi terdiri dari empat tahapan terpisah yaitu :
- Pengeringan: T > 150 °C
- Pirolisis/Devolatilisasi: 150 < T < 700°C,
- Oksidasi/pembakaran: 700 < T < 1500 °C
- Reduksi: 800 < T < 1000 °C
1.
Pengeringan
Pada pengeringan, kandungan air pada
bahan bakar padat diuapkan oleh panas yang diserap dari proses oksidasi. Reaksi
ini erletak pada bagian atas reaktor dan merupakan zona dengan temperature
paling rendah di dalam reaktor yaitu di bawah 150áµ’
C. Proses pengeringan ini sangat penting dilakukan agar pengapian pada
burner dapat terjadi lebih cepa dan lebih stabil.
2.
Pirolisis
Pirolisis adalah proses pemecahan
struktur bahan bakar dengan menggunakan sedikit oksigen melalui pemanasan
menjadi gas. Pada pirolisis, pemisahan volatile
matters (uap air, cairan organik, dan gas yang tidak terkondensasi) dari
arang atau padatan karbon bahan bakar juga menggunakan panas yang diserap dari
proses oksidasi. Suatu rangkaian proses fisik dan kimia terjadi selama proses
pirolisis yang dimulai secara lambat pada T 700 °C. Komposisi produk yang
tersusun merupakan fungsi temperatur, tekanan, dan komposisi gas selama
pirolisis berlangsung.
Produk cair yang menguap mengandung
tar dan PAH (polyaromatic hydrocarbon).
Produk pirolisis umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu gas ringan (H2,
CO, CO2, H2O, dan CH4), tar, dan arang.
3.
Oksidasi (Pembakaran)
Untuk melakukan reaksi oksidasi
(pembakaran) terdapat tiga elemen penting yang saling mengisi satu sama lain
yaitu panas,bahan bakar, dan udara. Reaksi pembakaran sangat berkaitan dengan
keberadaan ketiga elemen tersebut karena apabila salah satu dati ketiga elemen
tersebut tidak ada maka hamper dapat dipastikan tidak akan terjadi proses
pembakaran.
Oksidasi atau pembakaran arang
merupakan reaksi terpenting yang terjadi di dalam gasifier. Proses ini
menyediakan seluruh energi panas yang dibutuhkan pada reaksi endotermik.
Oksigen yang dipasok ke dalam gasifier bereaksi dengan substansi yang mudah
terbakar. Hasil reaksi tersebut adalah CO2 dan H2O yang
secara berurutan direduksi ketika kontak dengan arang yang diproduksi pada
pirolisis. Reaksi yang terjadi pada proses pembakaran adalah:
C + O2 → CO2
+ 393.77 kJ/mol karbon
4. Reduksi (Gasifikasi)
Reduksi atau gasifikasi melibatkan
suatu rangkaian reaksi endotermik yang disokong oleh panas yang diproduksi dari
reaksi pembakaran. Produk yang dihasilkan pada proses ini adalah gas bakar,
seperti H2, CO, dan CH4. Reaksi berikut ini merupakan
empat reaksi yang umum telibat pada gasifikasi.
C + H2O → H2 +
CO – 131.38 kJ/kg
mol karbon CO2 + C → 2CO
– 172.58 kJ/mol
CO + H2O → CO2
+ H2 – 41.98 kJ/mol
C + 2H2 → CH4
+ 74.90 kJ/mol karbon Berikut merupakan tahapan tahapan reduksi :
5. Water-gas reaction
Water-gas reaction merupakan reaksi oksidasi parsial karbon oleh kukus yang
dapat berasal dari bahan bakar padat itu sendiri (hasil pirolisis) maupun dari
sumber yang berbeda, seperti uap air yang dicampur dengan udara dan uap yang
diproduksi dari penguapan air. Reaksi yang terjadi pada water-gas reaction adalah:
C + H2O -> H2
+ CO – 131.38 kJ/kg mol karbon
Pada beberapa gasifier, kukus
dipasok sebagai medium penggasifikasi dengan
atau tanpa udara/oksigen.
6. Boudouard reaction
Boudouard reaction merupakan
reaksi antara karbondioksida yang terdapat di dalam gasifier dengan arang untuk menghasilkan CO. Reaksi yang terjadi
pada Boudouard reaction adalah:
CO2 + C -> 2CO –
172.58 kJ/mol karbon
7. Shift conversion
Shift conversion merupakan reaksi reduksi karbonmonoksida oleh kukus untuk
memproduksi hidrogen. Reaksi ini dikenal sebagai water-gas shift yang menghasilkan peningkatan perbandingan hidrogen
terhadap karbonmonoksida pada gas produser. Reaksi ini digunakan pada pembuatan
gas sintetik. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
CO + H2O -> CO2
+ H2 – 41.98 kJ/mol
8. Methanation
Methanation merupakan
reaksi pembentukan gas metan. Reaksi yang terjadi pada methanation adalah:
C + 2H2 -> CH4
+ 74.90 kJ/mol karbon
Teknologi
Gasifikasi
Teknologi gasifikasi yang terus
berkembang mengarahkan klasifikasi teknologi sesuai dengan sifat fisik maupun
system yang berlangsung dalam menciptakan proses gasifikasi. Berdasarkan mode
fluidisasinya,gasifier dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
- Gasifikasi unggun tetap (fixed bed gasification)
- Gasifikasi unggun terfluidisasi (fluidized bed gasification)
- Gasifikasi entrained flow.
4.
1. Fixe bed Reaktor
Pada
konfigurasi ini, batubara diumpankan
dari atas kemudian perlahan-lahan turun kebawah dan dipanaskan oleh gas
panas dari arah bawah. Batubara
melewati zona karbonisasi kemudian zona gasifikasi, akhirnya sampai pada zona
pembakaran pada bagian bawah gasifier tempat reaktan gas diinjeksi. Sistem ini
diilustrasikan pada Gambar 2. berikut ini :
Gambar 2. Fixed bed
gasifier
Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier, yaitu :
Gambar 3. Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier
Pada proses gasifikasi dengan fixed bed gasifier
Ada 4 zona reaksi yaitu :
1. Zona devolatilisasi.
Pada
zona ini terjadi penguapan uap air dan zat-zat volatil yang terkandung dalam
batubara.
2. Zona Gasifikasi
Pada
zona ini uap air yang dialirkan dan CO2 yang terbentuk dari
pembakaran sempurna bereaksi dengan batubara pada suhu tinggi membentuk
gas sintesis yang terdiri dari CO, H2 dan N2.
3. Zona
Pembakaran
Pada zona ini oksigen yang masuk
bereaksi dengan sebagian batubara membentuk CO2 dan H2O
yang diperlukan dalam reaksi gasifikasi.
4. Zona
abu
Zona ini adalah tempat penampungan
abu yang dihasilkan, baik hasil reaksi pembakaran maupun reaksi gasifikasi.
a.
Updraft gasifier
Pada updraft gasifier, udara masuk melalui bagian bawah gasifier melalui
grate dan ailiran bahan bakar masuk dari bagian atas. Proses ini terjadi secara
beralawanan arah (counter current). Gas produser yang dihasilkan keluar dari
bagian atas sedangkan abu diambil di bagian bawah. Reaksi pembakaran (oksidasi)
pada jenis ini terjadi di dekat grate dan diikuti reaksi reduksi (proses
gasifikasi) kemudian gas produser menembus unggun bahan bakar menuju ke daerah
yang memiliki temperatur lebih rendah. Sistem Updraft Gasifier dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Updraft Gasifier
b.
Downdraft gasifier
Pada downdraft gasifier udara dimasukkan ke dalam aliran bahan bakar
padat (packed bed) pada atau di atas zona oksidasi. Aliran udara ini searah
(co- current) dengan aliran bahan bakar yang masuk ke dalam gasifier. Udara
dimasukkan dari bagian atas. Gas hasil pembakaran dilewatkan pada bagian
oksidasi dari pembakaran dengan cara ditarik mengalir ke bawah sehingga gas
yang dihasilkan akan lebih bersih karena tar dan minyak akan terbakar sewaktu
melewati bagian tadi. Sistem Downdraft
Gasifier dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5.
Downdraft Gasifier
c.
Crossdraft gasifier
Pada Crossdraft gasifier, udara disemprotkan ke dalam ruang bakar dari
lubang arah samping yang saling berhadapan dengan lubang pengambilan gas
sehingga pembakaran dapat terkonsentrasi pada satu bagian saja dan berlangsung
secara lebih banyak dalam suatu satuan waktu tertentu. Sistem Crossdraft Gasifier dapat dilihat pada
gambar 6.
Gambar 6. Crossdraft Gasifier
4. 2.
Fluidized bed Reaktor
Dalam
fluidized bed gasifier, reaktor gas
digunakan untuk membuat fluidisasi material batubara. Untuk menghindari
sintering dari abu, fluidized bed
gasifier dibatasi beroperasi pada temperatur non-slagging.
Gambar
7. Fluidized
bed gasifier
Batubara
dimasukkan dari bagian samping sedangkan oksidannya dari arah bawah. Oksidan (O2
dan uap) selain berperan sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai
media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi
penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi
lainnya atau bersifat komplementer.
4.3. Entrained flow Reaktor
Batubara
dialirkan kedalam gasifier secara cocurrent
atau bersama-sama dengan agen gasifikasi atau oksidan berupa uap air dan
oksigen, bereaksi pada tekanan atmosfer. Pada entrained gasifier, batubara dihaluskan sampai ukuran kurang dari
0,1 mm diumpankan dengan reaktan gas ke dalam chamber dimana reaksi
gasifikasi terjadi seperti halnya sistem pembakaran bahan bakar berbentuk
serbuk.
Residence time partikel padatan yang singkat dalam sistem
fase entrained memerlukan kondisi
operasi dibawah slagging untuk mencapai laju reaksi dan konversi karbon yang
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa operasi non-slagging pada entrained gasifier baik sekali hanya
untuk proses hidrogasifikasi.
Gambar
8. Entrained
gasifier