Aku masih bersarang dalam selimut tipisku, serasa sangat dingin sekali. Dan tanganku memaksaku untuk mengucek mata ini. Sembari tanganku yang satunya lagi menoleh dan mengambil jam bekerku yang memekik-mekik ntah berapa kali. Emang sengaja distel agak cepat dari biasanya, yakni jam 04.00 pagi ntuk persiapan ujian semester ini. Suara adzan shubuhpun bersambut ditelingaku. Tapi bisikan syetanpun tak mau kalah bergolak untuk menyuruhku untuk tidur kembali. Ngantuk sekali memang. Tapi dengan segenap semangat aku taklukan godaan syetan ini dan aku beranjak menuju kamar mandi yang berjarak 10 meter dari kamarku. Kamar mandiku memang terpisah dari rumah kami.
Alunan angin merasuk kedalam hidung dan menembus kedalam sukma. Begitu dingin dan serasa sangat segar sekali. Dengan kandungan kadar oksigen yang masih murni dan belum tercemar oleh polutan lain. aku bergegas untuk ambil wuduk. Tubuhku langsung bereaksi seperti detektor suhu, mungkin 20 celsius derajat. Tapi ini adalah obat mujarab untuk mengalahkan rasa ngantuk. Aku pun beranjak untuk mengerjakan sholat shubuh. Dengan penuh kekhusukan kuhadapkan muka ke pada-Mu ya Rabb, Sambil mengangkat tangan sejajar dengan telinga, ku utarakan niat sholat shubuh pagi ini, Alhamdulillah lega rasanya ketika kewajiban ini telah tertunaikan, Dengan semangat 45 kuraih buku yang masih tersusun rapi diraknya, dengan alunan musik kujamahi seluruh isi buku tersebut, baris demi baris, halaman demi halaman keperhatikan dengan sekasama berharap semua isinya dapat diserap secara sempurna.
"Nak, air panasnya sudah siap tuch buruan mandi, sudah jam 6 kurang 15 menit, nanti kamu terlambat" pekik Ibuku dari arah dapur, akupun bergegas ke dapur untuk mengambil air panas tersebut dan membawanya ke kamar mandi.
"Nak, air panasnya sudah siap tuch buruan mandi, sudah jam 6 kurang 15 menit, nanti kamu terlambat" pekik Ibuku dari arah dapur, akupun bergegas ke dapur untuk mengambil air panas tersebut dan membawanya ke kamar mandi.
Berbekal sarapan yang telah disediakan oleh bunda akupun semangat beranjak dari rumah dan bergegas menuju sekolah. Ini adalah hari pertamaku untuk ujian Semester. Penentuan hidup dan matiku ditentukan dari ujian ini. Aku sempat khawatir bagaimana nantiknya kalau aku sampai D.O. yang pastinya aku tidak akan bisa berdamai dengan diriku sendiri, mengingat umurku pasti sudah tersia-siakan satu tahun menempuh pendidikan disini, sungguh aku tidak ingin hal itu terjadi pada diriku.
Gerbang sekolahpun menyambut kedatanganku, dan aku langsung melirik kesalah satu sudut dimana jam besar terpampang dengan keperkasaannya, sebagai penunjuk waktu standar disekolah ini. Dan juga bertindak sebagai hakim yang benar dan pengeksekusi bagi siswa yang suka telat. Jarum pendek hitamnya masih menunjuk angka enam, seakan tak mau kalah jarum panjangnya menunjuk pada angka 6.
"Berarti masih jam setengah tujuh". Aku membatin dalam diriku. Aku beranjak masuk dan menuju keruangan wakepsek (wakil kepala sekolah). Aku sempat menunggu beberapa lama diruangan tak berpenghuni ini, sembari membuka lembaran-lembaran buku. Menghapal rumus-rumus. Tapi terasa sangat membosankan bagiku.
“selamat pagi, dah lama nunggu ya Oea?” terdengar suara Pak Wakepsek dari balik pintu putih pucat didepanku.
“iya Pak, maaf Pak sebelumnya, Saya belum punya uang untuk membayar uang sekolahnya, Ibu saya masih mengupayakan hingga besok Pak, sudilah kiranya Bapak untuk memberikan saya dispensasi dulu untuk bisa mengikuti ujian semester pak, mengingat ujian ini sangat penting bagi saya pak. “ kataku menghiba”.
“Baiklah, saya memberikanmu penangguhan, tapi dengan syarat kamu harus melunasinya dalam tempo waktu dekat ini yang terlampir disurat dispensasi ini, Silahkan kamu tandatangani dulu! “ dengan agak kurang bersahabat pak WaKepsek memberikan secarik kertas putih dengan segudang tulisan perjanjian hitam di atas putih yang harus dilunasi dalam waktu segera.
Aku bergegas menuju ruangan ujian, dengan sedikit rasa lega di hati ini membawa secarik kertas pengganti kartu ujian dari Pak WaKepsek tadi, berarti aku bisa mengikuti ujian dengan tiket masuk kelas ini, pikir aku. Ruangan “013 F / 1B” tertera di atas kertas putih ini, aku kerahkan kedua kakiku dengan percepatan yang maximal menuju ruangan kelas tanpa menghiraukan ada temanku yang menyapa namaku dari sisi samping jalan. Sesampai didepan pintu derap kakiku terhambat oleh ibuk Wity, seorang guru pengawas yang bertugas memeriksa kelengkapan siswa untuk mengikuti ujian.
“selamat Pagi, boleh saya lihat kartu ujian kamu?” tanya ibu guru yang berperawakan kecil namun tegas dengan raut muka yang memiliki tegangan permukaan yang tinggi ini.
“Hmmm.... Aadda Bbuukh” aku agak gemetar sembari melihatkan kartu ujian pengganti oleh-oleh dari bapak WaKepsek tadi. Melihat kartu ujianku yang berbeda dengan siswa lainnya, Bu Wity, menyelotos keras berkomentar melihat kartu ujianku yang berbeda dari siswa lainnya. Aku merasa teramuk dengan statment guru mungil ini, yang nyelotos keras, sehingga siswa lain tanpa sengaja bisa mendengarnya, sungguh membuat harga diriku agak teranyuh. Mentang-mentang saya tidak bisa bayar uang sekolah tepat pada waktunya. Tapi ya sudahlah, memang ini kenyataanya. Pikiranku melayang dengan perasaan yang berkecamuk, aku melangkah masuk kelas.
““eitss.. Tunggu dulu, saya perhatiin, Pening kamu tidak ada? “ tanya bu Wity lagi. Dengan refleks cepat tangan kiriku langsung meraba dada kananku yang biasa terpampang papan kecil mungil berwarna biru berisi identitas nama, nim dan juga photo. Selama menjadi siswa disekolah berdisiplin tinggi ini papan kecil itu harus tetap tergantung didada sebelah kanan.
"Uppss.. bencana datang lagi nih", aku membatin dalam diriku.
“hehe dengan senyum bibir agak dimiringkan, maaf buk, Belum sempat aku mengutarakan kata maafku, ibu itu langsung mengusirku.
“ No Badge, Nothing Exam today!! " celetusnya pedas.
Dengan perasaan kesal bin marah bukan kepayang, aku mengumpat sendiri. Mengungkapkan kekesalan hatiku mengenai sekolah ini.
"Sekolah apaan ini, sok disiplin banget sih, nyesal gua sekolah disini", celetuk hatiku. Tak jauh kakiku ini melangkahi ubin putih kotak-kotak sekolah ini, dari kejauhan 10 kaki langkah dinosaurus, terdengar lagi ocehan bu munggil tadi, kali ini si temanku yang menjadi korban keganasan Ibu yang mengajar fisika tersebut. Dengan terus memacu langkah, telingaku menangkap sinyal, ternyata masalahnya hampir sama persis dengan yang aku alami tadi, diapun diusir pulang, dan tidak boleh mengikuti ujian sebelum lengkap semuanya.
“kalo si temanku itu mah asyik, rumahnya dekat. Nah kalo gua, jauhh gile, ah masa bodo yang penting gua ke rumah dulu, ambil pening dan kembali kesekolah uijian, titik” gumpat hatiku.
Pintu kamar ku gebrak dan bergegas mengurai isi kamarku, namun pening yang aku cari tidak juga kunjung ketemu. Aku coba sisir bagian tempat tidur. Lalu lanjut interogasi isi lemari, namun yang aku cari belum jua ketemu. Aku coba untuk diam sejenak duduk bersandar di pelantaran dinding tempat tidurku. Lama aku terdiam dan mengingat dengan keras kemana papan biru kecil itu berada. sembari terpikirkan juga waktu ujian ysng telah berjalan disekolah. Namun tak lama aku tersendak melihat keranjang biru pakaian kotorku, tempat aku menumpuk baju kotorku yang terletak di sudut kamar. Wajahku langsung kuhadapkan dan kecelupkan kedalam tumpukan kain kotor itu. di saat itu ternyata aku menemukan baju seragam yang aku pakai kemarin. Dan disanalah tepat terpasang papan kecil tersebut. "Alhamdullillah" ujarku . . .
Aku berlari bergegas, lari keluar lorong rumahku, dan menampaki bang dody. Tukang Ojek panggilan para ibuk-ibuk pergi kepasar pagi-pagi.
“Bang kesekolah bang, gak pake lama, dan cepatan !” sapaku ke bang dody dengan napas masih tersenggal-senggal.
“Olraiidddd . . . “ cetus bang Dedy menarik tuas gas motor Jupiter merahnya.
Untung saja jalanan sepi dan perjalananku menuju sekolah diberi kelancaran. Dengan skill yang mumpuni yang terlatih setiap harinya bang dody tak ada kendala sedikitpun membawa aku sampai kesekolah.
“Kamu lagi, kamu lagi...”
Dengan lirikan singging gerbang sekolah ini melirik tajam kearahku. Aku yang baru sampai Seakan tidak peduli, aku menerobos gerbang yang sudah tertutup rapat dan dijaga oleh “Herder sekolah” sebutan kami untuk Omnal. Tapi sayang gembok sudah berjodoh dengan kuncinya. Aku cuma termanggu menatapi dan memegangi jeruji silver dingin ini. Dibalik pagar itu si Herder berperawakan tinggi agak kurus tapi sedikit putih seakan tidak peduli akan kehadiranku, dia tenggelam dalam nikmatnya kopi hitam seduhan pak mamad. Memang tidak ada harapan gerbang akan dibukakan untukku, mengingat aku terlambat sudah hampir setengah jam.
Dalam kegundahan otakku berputar keras seperti kincir air yang berupaya menghasilkan arus listrik, namun yang aku harapkan bukan arus listrik. Namun sebuah ide. Aku Cuma berjalan menelisiri tepian air gerbang tinggi ini. Kemudian kakiku bergerak cepat. Tanganku berkelebat mengiringi percepatan kakiku. Menerobos rumput belukar hijau. Ku sisihkan helaian rumput-rumput kasar ini helai demi helai dengan sepatuku. Ada sebuah jenjang bambu gusung yang terpampang ke sandaran tembok kusam sekolah. Aku coba panjat. Tapi sayang bambu ini belum sanggup menghantarkan tubuh kurus ini melewati tembok. Aku coba raih pohon kedondong dengan kaki kananku. Dengan sedikit dorongan dengan pohon sebagai tumpuannya, aku melontarkan tubuh ini dan langsung dengan sigap menangkap ujung tembok dengan tanganku. Aku berbalik arah dan mendapati bagian dalam sekolah yang terhalang pembatas tembok. Aku meloncat kebawah. SSrrrtt... sedikit terjatuh dan lecet menghinggapi tanganku. aku tak peduli dan langsung melesat keruangan ujianku.
Aku Cuma diam seakan tidak mau tahu, melangkah masuk tanpa rasa bersalah sedikitpun, awalnya ibu pengawas melirik kearahku, tapi aku segera berkelebat memperlihatkan peningku. Dan langsung menundukan kepala 45 derajat menyelesaikan soal-soal ujian. Dengan waktu yang tersisa aku berupaya semaksimal mungkin untuk menjawab pertanyaan yang tertanam di kertas soal. Di penghujung waktu penaku tersendak. Otakku terasa buntu tidak bisa berbuat apa-apa. Aku coba melirik kekiri dan kekanan. Aku tak mungkin bertanya kesamping karena disebelah samping ada kakak tingkat yng tak kalah paniknya, tak mungkin dia bisa membantu, duduk no 3 dari belakang tidak membuatku aman. Aku melihat yg lain Gasar gusur kesana kemari. Panik berkeringat dingin. Menyeka mukanya dengan tissu tak kalah paniknya juga dengan diriku. Pikiranku sempat melayang gimana kalau mata pelajaran penting ini aku tidak lulus. Konsekuensinya ya bakal DO.
Tapi dibagian belakang terlihat andres, yang malah asyik mengerjakan soal. Akupun mengerdipkan mataku kearah andres, sambil menutupi mukaku dengan soal ujian.
andres langsung respek menoleh kearahku, sambil ketawa cengingisan.
andres langsung respek menoleh kearahku, sambil ketawa cengingisan.
“kenapa lo?”
“No 6 isinyanya paan?? “ dengan hati hati aku berbisik dengan frekuensi tertentu sehingga gelombang suaraku sampai ke sistem pendengaran andres.
“kertas-kertas!” sahut andres pelann.
“kertas paan?”
“bego lu, Mau isinya gakk?”
Tepian kertas putih aku sobek, tangan kiriku melemparkan kertas tersebut kearahnya. Dengan sudut mata aku lihat juga pergerakan mata pengawas. Sambil berharap-harap cemas berharap dapat contekan dari si andres. Aku mencoba mengisi jawaban lain dengan teliti.
Belum lagi aku mendapatkan apa yang aku inginkan, aksi bejat ini sudah diketahui oleh ibu pengawas,dengan suaranya bak petir menyambar dengan kekuatan penuh,"Heii Saudara, sekali lagi saudara menoleh kebelakang, saya patahkan leher saudara" akupun kaget dan kembali merobah posisi duduk ku. inilah yang membuat aku semakin gusar,
teguran dari pengawas tadi membuat otakku kembali bekerja, dengan tenang aku coba kembali membaca soal yang bisa aku kerjakan sambil mengingat ingat apa yang telah aku pelajari semalam "Alhamdulillah" akhirnya soal-soal ini dapat ku selesaikan dengan baik, sambil kembali mengoreksi apa yang telah ku kerjakan. Tenggg... tenggg.. tenggg...terdengar suara lonceng berbunyi menandakan ujian telah selesai, tapi aku lihat yang lain masih sibuk dengan jawaban masing-masing. Hingga tiba ibu pengawas dihadapan bangkuku mengambil kertas essaiku dengan sedikit maksa.
teguran dari pengawas tadi membuat otakku kembali bekerja, dengan tenang aku coba kembali membaca soal yang bisa aku kerjakan sambil mengingat ingat apa yang telah aku pelajari semalam "Alhamdulillah" akhirnya soal-soal ini dapat ku selesaikan dengan baik, sambil kembali mengoreksi apa yang telah ku kerjakan. Tenggg... tenggg.. tenggg...terdengar suara lonceng berbunyi menandakan ujian telah selesai, tapi aku lihat yang lain masih sibuk dengan jawaban masing-masing. Hingga tiba ibu pengawas dihadapan bangkuku mengambil kertas essaiku dengan sedikit maksa.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan anda,,,